Februari dan Sihir Hujan
Seperti pada pekan pertama pada bulan Februari ini, setiap hari hujan datang dalam waktu yang lama, mungkin kah ia sedang jatuh cinta?
Awal tahun ini, rasanya hujan lebih sering berkunjung ketimbang pada bulan-bulan berakhiran ‘-ber’ tahun lalu. Seperti pada pekan pertama pada bulan Februari ini, setiap hari hujan datang dalam waktu yang lama, mungkin kah ia sedang jatuh cinta?
Turunnya rintik hujan terasa seperti magis–atau setidaknya buatku, menyihir tiap rungu yang mendengar suaranya berirama mendayu-dayu. Tak bisa dipungkiri memang kerap menenangkan. Hujan yang identik dengan sendu, barangkali karena abu-abu yang ia ciptakan pada langit. Sehingga manusia menjadi gundah hatinya, dan akhirnya tersihir.
Aku punya banyak memori dengan hujan, mungkin juga salah satu musim yang paling kugemari di antara (hanya) dua musim yang pernah kujajal. Pun dengan yang lain, setiap orang pasti punya ceritanya masing-masing, dengan hujan, sang pengantar berkah.
Ketika hujan turun–entah secara tiba-tiba atau melalui peringatan, ia disambut dengan beragam ekspresi berbeda oleh tiap-tiap manusia. Ada yang mengucap syukur, ada pula yang bersungut-sungut. Sebab hujan membuat jemurannya basah lagi, mungkin. Februari dengan sihir hujannya; Ada yang segera menepi untuk berteduh. Ada yang mau tidak mau berdiri tegap diterpa hujan, demi menghidupi keluarga. Ada yang mendekap tubuh ayahnya dari belakang, berlindung jas hujan yang dipakainya berbarengan. Atau, ada yang diam-diam air matanya luruh bersamaan dengan hujan yang turun saat perjalanan pulang. Ada yang memandang rintiknya lewat jendela. Ada pun yang malah sengaja berlari-larian di bawah hujan, tertawa riang. Dan, ada yang sedang merapal doa di hari baiknya.
Entah mantra apa yang hujan punya, tiap kali ia berkunjung, rasanya kecamuk emosi dalam diri saling bertaut. Sendu-sedih-senang-dan tenang, seperti mendamba sesuatu yang bahkan entah apa jelasnya. Mungkin sekedar ingin meringkuk dalam balutan kain yang hangat atau menyeruput kuah mie instan. Selain itu, rasanya kata-kata lebih mudah kutuangkan ketika rinai mulai menjamah tanah. Begitulah sihir hujan, pikirku.
Sajak paling masyhur tentang hujan tentunya sajak ciptaan Alm. Bapak Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni. Yang dibuka dengan bait pertamanya:
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Kira-kira, mengapa hujan bulan juni? Mengapa tidak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni? Jawabnya adalah, yang sederhana itu, yang pada kenyataannya bulan Juni adalah bulan kemarau. Maka, meskipun saat ini hujan tak kunjung reda, yakin bahwa apa yang turun dari langit itu nantinya akan membawa berkah. Untuk bentala dan seisinya — segala kehidupan di dalamnya — sehingga syukur memang harus dirapal. Karena siapa tahu nantinya, hujan itu akan kita dambakan seperti bulan Juni mendamba hujan.
Referensi
Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.