scent holds memories. songs bring back memories.
Setuju.
Aroma dan lagu bisa membawa kita menuju ke suatu masa yang lampau. Setidaknya berlaku padaku. Memutar ulang kenangan yang tersimpan. Baik senang atau sedih. Yang jelas, perasaan nostalgia itu sukses menyamun presensi kita di masa kini. Tapi bagiku ada lagi, yaitu makanan.
Makanan juga bisa menjadi sebuah perantara untuk menjelajah waktu di masa yang lalu. Entah itu dari aroma, rasa, bentuk, atau gabungan ketiganya. Keterkaitan antara memori yang terekam melalui pancaindera, emosi, dan memori. Being intertwined.
Kala itu aku sedang berdiri dalam sebuah antrean panjang. Menggenggam alat makanku. Hari Rabu, menu favoritku. Pada saat itu aku tidak tahu betul apa nama masakannya, yang jelas aku suka. Kini setelah aku cari, masakan itu bernama Asem-Asem Daging. Menu yang paling aku suka semasa tinggal di asrama. Rasanya baru, biasanya aku memakan daging sapi yang dimasak semur atau rendang, namun kali ini berbeda. Rasa asam yang dipadukan dengan potongan daging sapi itu terasa baru di lidahku.
Waktu kian berlalu, Asem-Asem Daging itu menjadi semangkuk yang menyimpan berbagai ceritaku di sana. Genggaman kisah yang warna-warni rupanya, sama seperti seporsi Asem-Asem Daging.
Singkat cerita, saat aku berkunjung ke kota di Jawa Barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah beberapa waktu lalu, aku berkunjung ke sebuah warung empal langganan kakekku. Empal menjadi makanan khas kota yang berada di pesisir utara Jawa itu. Saat menilik buku menu, ada satu menu yang menarik perhatianku. Daging yang dimasak Asem-Asem! Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyebutkan menu itu kepada sang pramusaji. Dengan harapan bisa bernostalgia dengan masakan Asem-Asem Daging hari Rabu favoritku beberapa tahun silam. Meski tidak sepenuhnya mirip, setidaknya masakan Asem-Asem Daging itu bisa sedikit membawaku pada “kala itu”, menyantapnya dengan perasaan yang hangat.
Banyak sekali macamnya. Banyak sekali jenisnya. Setiap orang punya menu nostalgia nya masing-masing, baik yang disengaja ataupun tidak. Baik yang kompleks ataupun sederhana.
Sup jagung buatan ibu, telur gulung jajanan di masa sekolah dasar, ikan acar buatan nenek, lontong opor sajian lebaran, dua mangkuk ramen pada sebuah ramen-date, bubur ayam seusai olahraga pagi, atau sekadar es teh melati yang tingkat rasa kelatnya sama seperti es teh yang biasa dibeli di sekolah.
Banyak makanan yang ketika kamu suap ke dalam mulut, memori itu seketika terbesit dalam benak pikirmu. Yang kemudian menghangatkan hati, atau menyendukan. Yang terakhir tidak masalah buatku. Karena dengan begitu, aku bisa melihat makanan dengan lebih bijaksana. Menghargai apa-apa yang tersaji di hadapanku, untuk siapa tahu nantinya bisa menjadi sebuah menu nostalgia. Menu yang bisa membawaku menjelajah masa lalu. Tanpa mengesampingkan esensi dalam menghargai makanan, karena memang sudah semestinya.
Kalaupun itu membuat sendu, semoga sembuh segera. Sehingga ketika aku menyantapnya, tidak ada perasaan lain selain perasaan hangat. Karena segala hal yang terjadi pasti ada maknanya.
Sepiring penuh kenangan, sesendok suapan sebagai tiket menjelajah waktu.